Kamis, 05 Maret 2015

Suku Baduy

Suku Baduy adalah satu dari sekian ratus suku yang ada di Indonesia. Suku ini terkenal dengan kepribadiannya yang tidak mau dicampuri dengan dunia luar dan modern, bahkan hanya untuk sekedar difoto saja mereka tidak mau. Kepekaan terhadap adat istiadat inilah yang membuat wilayah suku Baduy sangat tertutup sehingga tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam wilayahnya. Wilayah suku Baduy disebut sebagai Kanekes. Populasi penduduk suku Baduy di Kanekes berkisar 8000 jiwa.

Asal-usul dan tata kelola suku Baduy

Masyarakat suku Baduy sendiri suka menyebut dirinya urang Kanekes. Namun para peneliti dan sebagian besar masyarakat Indonesia menamakan suku ini Baduy karena daerahnya yang diapit dengan oleh dua gunung Baduy atau bisa juga diadaptasi dari nama masyarakat Badawi yang pada zaman dahulu memiliki gaya hidup mirip dengan orang Kanekes. Sistem pemerintahan,politik, ekonomi dan semua sistem lain dalam desa Kanekes menggunakan sistem kehidupan tradisional. Maka sistem dusun pun diterapkan atas tiga wilayah utama, yakni Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo.
Sistem budaya tradisional di masyarakat Kanekes ini sama halnya dengan budaya tradisional lain yakni menggunakan sistem lisan untuk memberitakan suatu hal berupa informasi, cerita, hiburan atau pendidikan. Bahasa yang digunakan merupakan bahasa Sunda dengan dialek khusus masyarakat Kanekes. Salah satu ciri khas bahasa Sunda dialek Kanekes adalah menggunakan kata kami untuk menyebut saya dan kata ganti dia untuk menyebut kamu atau anda.

Agama dan kepercayaan orang Baduy

Agama yang dianut masyarakat Baduy adalah agama Sunda Wiwitan, yakni sebuah kepercayaan yang dianut masyarakat Sunda jaman dahulu yang mendapatkan pengaruh besar dari budaya Hindu. Namun ada juga sebagian masyarakat Baduy Kanekes yang memeluk agama Islam dan Budha. Yang paling pokok dalam sistem kepercayaan mereka, apapun agamanya adalah bahwa segala macam sesuatu yang berkaitan dengan pola kehidupan mereka tidak boleh atau pantang untuk diubah. Moto masyarakat Kanekes adalah “Lojor henteu beunang dipotong, pendek henteu beunang disambung”, mereka menganggap segala hal yang sudah ada di dunia ini tidak boleh diubah dalam bentuk apapun, sehingga mereka tidak menerima kemajuan dalam bentuk apapun.

Mata pencaharian masyarakat suku Baduy

Sedangkan mata pencaharian masyarakat Baduy adalah menjadi petani. Petani di Kanekes tidaklah sama seperti petani pada umumnya karena mereka tidak membajak untuk menggemburkan tanah, tidak membuat sengkedan untuk pengairan dan lain-lain. Mereka menanam secara apa adanya, tidak mengubah atau mengolah tanah. Sistem kepercayaan mereka yang mendorong mereka berlaku demikian. Hal ini berkautan dengan semboyan mereka diatas, bahwa apa yang sudah ada tidak boleh dirubah-rubah dalam bentuk apapun. Sehingga dalam hal pertanian pun mereka tidak mengubah tanah.

Pembagian masyarakat dan sistem pemerintahan

Selanjutanya kita akan membicarakan lebih lanjut tentang masyarakat Baduy dalam hal pembagian masyarakat dan sistem pemerintahannya.

Pembagian dalam masyarakat Baduy

Masyarakat suku Baduy dibagi menjadi tiga kelompok yang tinggal di daerah yang berbeda-beda. Kelompok tersebut adalah:
  • Baduy Dalam (Kanekes Dalam)
  • Baduy Luar (Kanekes Luar)
  • Baduy Dangka
Masyarakat Baduy Dalam adalah masyarakat yang menempati tiga wilayah utama Kanekes, yakni Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo. Masyarakat ini sangat memegang teguh adat istiadatnya dengan pakaian berwarna putih dan biru tua. Mereka juga suka mengenakan ikat kepala berwarna putih. Masyarakat Baduy Dalam tidak menggunakan benda-benda yang berbau modern, seperti alat elektroni dan bahan kimia. Pakaian yang digunakan pun harus ditenun sendiri berasal dari bahan-bahan yang alami di sekitar masyarakat tersebut tinggal. Jika ada pakaian yang dijahit, bisa dipastikan mereka menjahitnya sendiri dengan tangan.
Kelompok yang kedua adalah masyarakat suku Baduy luar yang berciri khas pakaian hitam. Mereka juga menggunakan ikat kepala seperti masyarakat Baduy dalam, namun berwarna hitam juga. Masyarakat ini tinggal di desa yang mengelilingi desa utama wilayah Kanekes diatas.Masyarakat Baduy luar ini bisa dikatakan adalah suku Baduy yang diasingkan karena beberapa alasan seperti melanggar peraturan adat yang ada dalam wilayah Kanekes dalam, menikah dengan orang luar Kanekes Dalam atau mengundurkan diri dari Baduy Dalam dengan berbagai macam alasan. Salah satu sebab yang paling banyak adalah penggunaan alat-alat moden seperti elektronik, bahan kimia dan teknologi lain.
Namun dalam beberapa hal, masyarakat Baduy Luar masih menerima dan mengakui sebagian adat masyarakat Baduy. Inilah yang membedakan kelompok Baduy luar dengan Baduy Dangka. Kelompok ketiga, yakni Baduy Dangka, mereka yang sudah benar-benar keluar dari suku Baduy, baik secara geografis maupun secara adat istiadat. Mereka merupakan keturunan suku Baduy Dalam atau luar, namun umumnya sudah tidak tinggal di wilayah Kanekes.

Sistem pemerintahan dalam masyarakat Baduy

Seperti yang telah kita bahas sebelumnya bahwa masyarakat suku Baduy masih ketat menjalankan adat dengan memberlakukan sistem kehidupan sesuai dengan ketentuan tradisional yang sudah ada sejak jaman dahulu kala. Hal ini termasuk pula dalam sistem pemerintahan. Pemerintahan yang digunakan di Kanekes ada dua macam, yakni sistem adat dan sistem nasional. Seperti wilayah yang lain di Indonesia, setiap Desa di Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang dalam budaya Kanekes disebut jaro pamarentah. Namun dalam sistem adat, seluruh masyarakat Baduy dipimpin oleh seorang pemimpin adat tertinggi yang disebut sebagai pu’un.
Jabatan pu’un tidak dibatasi oleh waktu sehingga jabatan ini ditempati oleh orang yang dianggap memiliki kharisma tinggi sebagai pemimpin serta orang harus memiliki kemampuan untuk bertahan selama mungkin dalam jabatan tersebut. Dibawah pu’un ada jaro, yang mana dalam sistem modern disebut sebagai ceksi pedesaan yang berhubungan dengan wilayah tertentu. Jadi sebenarnya kepala desa dalam sistem nasional yang disebut jaro pamarentah dalam sistem Baduy adalah bawahan pu’un, secara tidak langsung. Oleh karena itu jika ada acara nasional, yang harus mengikuti acara tersebut bukan pu’un tapi jaro pamarentah atau kepala desa.