British
SAS merupakan tentara elite Inggris. Konon, SAS digadang-gadang sebagai
pasukan elite terbaik dunia, mengalahkan Shayetet 13 (Israel) dan Navy
Seals (Amerika). SAS telah eksis sejak Perang Dunia II dan telah
menjalani berbagai misi di berbagai negara, termasuk terlibat dalam
intrik perbatasan antara RI - Malaysia. Bagaimana sepak terjang SAS
dalam konflik tersebut? Silahkan disimak.
Ketika
Tentara Nasional Kalimantan Utara meluncurkan pemberontakan atas
kesultanan Brunei pada 8 Desember 1962, Konfrontasi dengan Indonesia
dimulai. Akhir Desember 1962, Pasukan Inggris untuk wilayah Borneo
didirikan dan dalam beberapa hari Letnan Kolonel John Woodhouse,
Skuadron 22 SAS (British SAS), dan seperangkat pengirim sinyal radio
morse terbaru tiba di Kalimantan, yang merupakan satu-satunya metode
komunikasi yang dapat diandalkan dalam operasi hutan. Tiga hari setelah
kunjungan Woodhouse, SAS Skuadron 22 'A' ditempatkan ke Kalimantan.
Walaupun
berjumlah kurang dari 100 orang, Skuadron 'A' ditempatkan di sepanjang
perbatasan antara Kalimantan-Sarawak dan Sabah yang membentang sejauh
1.500 kilometer. British SAS dibantu oleh suku setempat, SAS yang dibagi
dalam empat tim dapat mengawasi wilayah hutan yang luas dan melakukan
pelacakan tanda-tanda kegiatan pasukan Indonesia dan kondisi hutan itu
sendiri guna menahan laju gerak cepat pasukan Indonesia yang akhirnya
memungkinkan bala bantuan helikopter menyergap pasukan Indonesia.
Sebagian
besar suku Malaysia merasa 'risih' dengan kedatangan orang kulit putih
(Eropa) dalam jumlah yang terbilang besar. Hingga SAS harus membangun
kepercayaan mereka. Setiap tim terletak di desa terbesar di setiap
wilayah jaga dan mendirikan persembunyian terdekat untuk memantau
gerakan melalui desa. Mereka akan memperkenalkan diri, setelah para suku
menerima kedatangan mereka, maka SAS 'membayar' penghormatan mereka ke
kepala desa. Para prajurit menerima makanan dan pelayanan dari suku
setempat sebelum mundur untuk menyembunyikan diri. Dalam setiap patroli
selalu ada bantuan medis yang diberikan kepada desa-desa setempat guna
membangun rasa saling percaya. Setelah terbangun rasa saling percaya,
patroli pindah ke tepian desa dan akan membantu penduduk desa dalam
tugas-tugas kesehariannya ketika mereka tidak dalam tugas intelijen.
Setelah
segalanya berjalan sesuai rencana, patroli akan menyebarkan berita
ancaman (dari Pasukan Indonesia) sepanjang selatan perbatasan. Hal ini
diterapkan untuk membentuk opini bahwa SAS peduli pada mereka. SAS is
the Good Guy, And Indonesian Troopers is The Bad Guy. Jika kepala suku
tidak terkesan dengan cara ini, SAS akan mengiming-imingi penghuni desa
berupa perlindungan jika pasukan Indonesia datang menyergap. Mereka
diminta menebang pohon sebagai isyarat dan patroli akan meminta bantuan
helikopter -dibawah kesatuan Ghurkhas- yang akan segera tiba ke lokasi
sumber isyarat.
Ketika
Pasukan Indonesia melancarkan serangan besar pertama ke Sarawak
terhadap pos polisi di Tebedu, Skuadron 'A' sudah berdiri mantap di
desa-desa, namun SAS tidak dalam posisinya untuk memblokir penarikan
mundur pasukan Indonesia.
Pada
pertengahan Mei, Skuadron 'D' menggantikan Skuadron 'A' di desa-desa
dan melanjutkan kampanye merebut hati dan pikiran penduduk lokal,
menyebarkan berita ancaman dari selatan perbatasan (Indonesia) dan
mengikis dukungan terhadap Indonesia di antara suku-suku.
Ada
terlalu banyak suku yang pindah ke pemukiman yang lebih aman dari
konflik, sehingga beberapa pria muda dari setiap desa secara sukarela
dilatih menggunakan senjata api dan taktik defensif. Tentara Inggris
yang memasok senapan, amunisi dan pasukan lokal ini dikenal sebagai
Border Scouts (Pramuka Perbatasan). Setelah tiga minggu pelatihan,
mereka kembali ke daerah asal mereka yang dipimpin oleh tim kecil
Gurkha. Pramuka Perbatasan tidak terlalu terlatih sebagai pasukan
tempur, namun ideal sebagai pelacak dan kurir ketimbang menjadi seorang
prajurit.
Ketika
konflik di Kalimantan semakin memanas, seleksi di Hereford dipercepat.
Skuadron 'B' telah dibentuk dan mulai beroperasi pada Januari 1964.
Setelah
serangan Indonesia ke wilayah Kalabakan, Angkatan Darat Indonesia mulai
terlibat dalam perang terbuka. Saat itu terjadi, Skuadron 'B' dan 'D'
sudah cukup tenaga untuk melakukan serangan lintas-perbatasan ke
Kalimantan. Patroli pertama mengenakan seragam normal Tentara Inggris
dan membawa senjata standar Self-Loading Rifles sehingga klaim tentara
hilang dapat diajukan jika ditemukan pasukan patroli.
Kemudian
SAS kembali ke senjata khusus mereka yaitu senapan Armalite. SAS
memiliki tugas spesifik - membimbing pasukan patroli rutin jarak jauh
pada operasi lintas-perbatasan. Patroli jarak jauh ditugaskan untuk
menemukan jalur suplai Pasukan Indonesia, Base camp dan mencari tahu
posisi penyergapan yang cocok. Patroli ini biasanya berlangsung selama
tiga minggu dengan semua perlengkapan yang dibawa, dan perlengkapan
dikurangi ketika patroli melakukan penetrasi lebih jauh untuk
memungkinkan gerak cepat. Perlengkapan menurun hingga mencapai hanya 7Kg
berdasarkan rasio dehidrasi per orang dalam bungkus berisi botol air,
survival kit dan amunisi. Semuanya tersimpan di sabuk.
Para
unit patroli hanya memiliki waktu kurang dari seminggu di akhir setiap
patroli untuk memulihkan diri karena kurangnya tenaga patroli, dan pada
akhir patroli mereka biasanya diterbangkan kembali ke Hereford untuk
istirahat beberapa minggu. Para prajurit dibatasi untuk menembak guna
menjaga korban minimal sebagaimana evakuasi korban dengan helikopter
tidak mungkin dilakukan di wilayah Indonesia.
Operasi
lintas-batas berada dibawah kendali unit infantri Inggris mulai pada
bulan Juni 1964, yang dipandu oleh pasukan SAS dan misi ini tetap
menjadi rahasia untuk waktu yang lama karena sensitivitas politik
mengingat Inggris menempatkan pasukannya ke suatu negara yang secara
teknis tidak sedang berperang dengan Inggris. Operasi ini dinamakan
Operasi Claret.
Pada
bulan April 1965, Indonesia melancarkan serangan besar atas markas
British 2 Para Company di Plaman Mapu. Kemudian Inggris melakukan
serangan balasan lintas perbatasan lewat pasukan Ghurkha-nya dan
batalion Angkatan Darat Inggris.
Dalam
buku 'English Small Wars' dikutip pasukan Indonesia yang kewalahan
dalam pertempuran namun ada keberanian yang pantas dibanggakan. Jika,
mungkin, pasukan lain ketika disergap akan mundur tunggang langgang dan
mencari tempat perlindungan, tapi pasukan Indonesia justru malah maju
menyambut penyergap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar